Kali ini bude -si pemalas posting- mau cerita sedikit tentang kisah tahun lalu. Bukan ga bisa move on sih tapi pengen aja sharing pengalaman *tsaaahhh*. Dan ini juga bukan kisah sedih di hari Jumat 10 Februari 2012 lalu karena tergantung persepsi orang yang baca postingan ini sih, haha. Oke daripada banyak omong mending langsung ke kisahnya.
*flashback di Jumat, 10 Februari 2012*
-Bagaimana semua ini bermula-
Hari ini entah kenapa aku males banget beranjak. Pelajaran hukum bisnis yang dibayangi banyak tugas baik yang harus dikumpul ataupun mau dikasih nantinya bikin makin males. Tapi kali ini beda, malesnya bukan karena hal itu aja, kayaknya memilih mending dikosan. Dan bener aja setelah jumatan hujan besar banget. Aku yang masuk kuliah pukul 13.30 cuma bisa melenguh pelan mengingat seragam sehari-hari harus kudu wajib dipadankan dengan heels. Huaaahhh akan tambah bawaan nih, ga mungkin juga becek-becekan pake heels. Jadi aku pilih nanti pake sandal jepit aja.
Aku sebenernya siap dari jam 12.00 dan selesai solat langsung siap-siap ngampus. Cuma yaa hati ini tetep males ke kampusnya. Akhirnya aku memilih untuk sms ke tiga orang seolah mau minta persetujuan untuk ga kuliah *eehh*. Becanda deng, aku cuma mau curhat aja pengen kuliah tapi males tambah hujan deres yang tampaknya awet diluar sana. Aku sms ke mama, Puji dan Jenong. Puji ngewanti-wanti untuk bawa payung. Sedangkan mama sama Jenong belum bales. Tapi ada Laras -yang ternyata sehati males berangkat juga- sms ngasih tau dia belum berangkat dan ntar-ntaran aja berangkatnya.
Aku memantapkan hati untuk berangkat. Pake sandal, seragam batik, tas ransel batik -juga- sama payung lucu warna ungu *harus banget gitu ngasih tau warnanya*.  Aku yang biasanya bawa laptop menjadi enggan bawa dan membiarkannya tergeletak di lantai. Hari ini cuma bawa binder, dompet, headset, sama heels di ransel. Dan turunlah aku dari kosan dengan semangat dibawah 0 derajat celcius. Bapak kosan yang kebetulan pas-pasan sama aku nanya gini : "Neng mau kuliah? Atuh hujan gini, didepan banjir." Aku cuma bisa cengengesan aja bilang "Iyah" dengan hati bilang "Engga pengen kuliaaaahhh :( ." Bapak kosan ngejawab : "Yauda hati-hati, didepan sana jalanannya banjir." Dan aku mengindahkan firasat serta wejangan itu dengan menganggap kuliah itu penting. Hujan aja ga bisa mengalahkan tekad ini *beeuuhh*.
Lalu aku berjalan keluar gang. Voilaaa ini jalan raya apa sungai? Jalanan Sukajadi dan Setiabudhi mendadak jadi sungai gini. Aku naik angkot dan celingukan. Gimana nanti didepan kampus? Aku tahu banget kampus juga pasti jalan rayanya tergenang. Huhhh terlanjur kepalang berangkat juga kan. Di sebrang borma aku lihat ada motor kebawa air bah itu sampe tiga motor dengan pengendaranya yang berusaha sekuat tenaga mempertahankan motornya dan supaya ga ngikut hanyut juga. Lalu entah kenapa aku nyalain data paket terus buka twitter dan nge-DM @infobdg untuk bilang ke #cuacabdg kalau tweeps harus hati-hati di Setiabudhi soalnya ada 3 motor hanyut. Ada notifikasi sms masuk tapi aku memilih membaca nanti. Jadi aku masukin hape Young ini ke saku luar ransel aku.
Seperti biasa aku turun di sebrang kampus. Banjirnya wuussshhh banget lah. Tapi ku lihat Wiwi -temen sekelasku- berhasil nyebrang disana. Hmm kenapa aku juga ga bisa, mari dicoba aja. Toh ini sudah hampir 13.30 daripada terlambat kena semprot dan ga bisa ikut kuis kan berabe. Lalu huupp aku menerobos nyebrang.
-Saat melangkah kurang ucap Bismillah, saat berdoa dalam keadaan susah payah-
Pas nyebrang setengah jalan aku baru sadar ini deres banget aliran "sungai" dadakannya. Tinggi airnya sampe selutut, debit airnya udah kaya bah -emm- maksudnya mungkin kek banjir bandang kali yah. Dan aku cukup kesulitan karena harus angkat rok sambil megang payung. Ah hampir lupa, karena aku bosan, dimulutku ada lolipop yang lagi dikemut. Aku melewati jalan raya sungai dadakan itu dengan susah payah. Tinggal dua langkah lagi aku naik ke trotoar yang ga ikut tergenang air. Namun sayangnya sandal jepit yang kupakai keselip saat mau melangkah. Sandalku hanyut sebelah. Tapi saat aku melangkah lagi, aku lah yang hanyut berikutnya.
Tell me stupid. Yeah Marya a.k.a Bude ini memang terlalu nekat. Menyebrang sungai pake sandal. Ah daripada nyalahin yang udah berlalu mending balik ke keadaan aku saat itu.
Pas ku lihat sandalku hanyut, aku jadi ingin cepat sampai ke trotoar itu dengan langkah besar. Dan uupppsss aku terpeleset jatuh. Aku tidak jatuh di aspal, tapi digenangan air bah yang menutupi aspal. Dengan mudahnya arus itu membawa tubuh ini yang jatuh dalam posisi duduk. Aku terus terseret. Dalam hitungan kurang dari 3 detik, badanku menabrak mobil yang parkir dipinggir jalan. Ya tubuhku nabrak mobil dong. Kemudian 2 detik berikutnya dunia tidak lagi dalam pandanganku.
Oh bukan, aku belum meninggal. Aku masuk ke kolong mobil yang ku tabrak tadi. Hal itu kusadari saat badan ini ga bisa gerak. Membuka mata tapi air bah itu mengarung deras depan mata, aku dalam keadaan tenggelam dalam kolong mobil, oh really. Ku dengar suara arus menyeramkan yang begitu hebohnya menekan gendang telinga. Aku masih mengemut lollypop, aku tak punya ruang untuk bernapas -ingat kan tadi ku bilang selutut banjirnya dan well aku dikolong mobil- maka aku buang permen itu. Aku menggembungkan pipi berharap bisa menyisakan nafas hingga aku bisa keluar dari mobil ini.
Sudah berapa lama waktu berlalu diluar sana? Adakah yang melihatku? Karena arusnya kebawah, aku ga mempunyai daya untuk melawan arus dan keluar dari kolong ini. Aku mencoba peruntungan lain dengan menyisipkan tubuhku untuk terlentang agar aku terbawa arus melewati mobil ini meskipun dengan resiko aku tertabrak kendaraan lainnya atau hanyut lebih jauh lagi. Ah aku tak tahu pasti. Aku harus mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tubuh ini. Tapi entah bagian mana ditubuhku yang tersangkut sehingga rasanya sulit sekali.
"Sudah berapa lama aku berusaha? Aku tak suka gelap. Aku tak suka sempit. Semua ini menghimpitku. Aku tak punya ruang. Aku tak bisa leluasa bernafas. Aku hanya ingin kuliah. Kenapa begitu sulit menyebrang jalan? Mengapa niatku untuk belajar malah jadi seperti ini."
Batinku tak hentinya bertanya, bersuara mengungkapkan apa yang kurasa dan ingin teriak rasanya.
" Tahu begitu dalam 5 detik tadi sebelum aku stuck disini aku teriak yah. Bagaimana jika tak ada yang menyadari. Ah tentu saja siapa yang sadar! Duh bodohnya aku. Apa mau dikata. Nunggu banjir ini reda sampai jam berapa, mungkinkah nafasku cukup?"
Tanganku terus menggapai entah apapun entah kemanapun. Aku hanya ingin mencari titik terang. Titik kepastian. Lalu perdebatan batin mencapai ujungnya.
"Ya Allah entah hamba harus bagaimana. Namun jika memang aku sampai disini, cepat habiskan nafas ini. Tapi kalau lanjut, biarkan seseorang datang." Dan aku menangis dalam hati membaca syahadat. Baru ku tutup syahadat itu, tanganku ada yang menggenggam! Aku dipegang oleh seseorang. Oh bolehkah aku berharap? Benarkah ini tangan manusia? *well saat itu otakku hanya mampu berpikir semanis itu -.- hehe*
Tak lama tangan itu terlepas. Aku mencari. Tak rela tangan itu pergi. Akhirnya genggaman itu datang lagi. Kali ini menarikku dengan sangat kuat. Aku terbebas. Iya bebas. Aku melihat langit biru serta nafasku yang kembali bisa ku hirup.
Aku histeris.
Bisa apa lagi? Aku bahagia masih hidup. Aku bahagia selamat. Aku ketakutan. Aku masih tak menyangka. Aku merasa ini keajaiban. Berapa lama aku terjebak? Mengapa banyak sekali suara hatiku didalam sana.
Pertama kali ku lihat banyak orang mengelilingiku. Berisik. Berbisik. Seorang ibu pun histeris. Laura disampingku menanyakan keadaanku. Ah ada temen sekelasku disini. Senang sekali mendengar suara Ola. Aku menangis. Aku mencari mana kerudung dan tas ku. Tas ransel sama kerudungku ikut hanyut? Ya ampun kerudung. Hape. Dompet. Oke banyak sekali pikiranku. Orang-orang memintaku tenang dan jangan memikirkan itu dulu. Ah lalu mikirin apa. Tanpa Young bagaimana bisa kasih tau orangtuaku dan Jenong dan Puji atau Laras atau pihak kampus. Astaga banyak yang harus tau? Ngomong aja belum nyambung gini.
Mereka bilang aku harus tenang. Aku mending mikirin diri sendiri dulu, gimana keadaannya. Hmm sakit. Sesak. Ngilu. Itulah yang ku rasa tapi belum bisa ngomong ke mereka. Hanya dalam hatiku aja.
Sekilas banyak suara masuk karena mereka asik menceritakan sudut pandang mereka. Yang ku tangkap seperti ini :
1. Seorang ibu dan  anaknya -yang seusia denganku sepertinya- melihatku jatuh saat menyebrang kemudian dia meminta pertolongan orang-orang yang ngumpul di bengkel.
2. Laura a.k.a Ola -temen sekelasku- sudah melihatku menyebrang dan kaget banget aku jatuh terus hilang ditelan air bah itu. Tanpa pikir panjang Ola menyebrang untuk menolongku. Dan dia menangis merasa lebih baik Ola duluan yang mati daripada aku. Ya Allah Ola hatinya mulia banget. Semoga engkau berikan dia kemudahan dalam urusannya (˘ʃƪ˘)
3. Orang bengkel nahan Ola untuk ga nekat nyebrang. Orang-orang itulah yang menarikku dan menggendongku. Meskipun yang aku tahu tangan pertama yang menggenggam tangan aku adalah Ola. *Thanks God, Lopyupul Ola*.
4. Ada beberapa anak sekelasku disana. Anin dan Risa. Meskipun aku ga tau mereka dimananya.
Seseorang memberiku minum agar aku tenang. Yang belakangan ku tahu itu Risa. Tapi dilemma banget disuruh *maaf* muntah saat itu juga. Baru mau tanya kenapa eh ibu -yg tadi histeris- bilang pasti ketelen itu air bahnya. Hah, apah? Omigoooddd saat itu juga aku berharap bisa jakpot. Air apaan itu yang ketelen ┭┮_┭┮ . Ibu itu juga ngajak aku ke kosan anaknya. Aku dijanjiin sama orang bengkel itu untuk dicariin tasnya. Ah iya kerudungku ketemu jadi aku pake asal aja. Aku, Ola, ibu itu dan anaknya ngajak aku jalan dan aku dipapah *engga dimamah yah -.-*
Kosannya nyelip dan dilantai dua. Uh oh aku tau kakiku ga beres saat naik tangga. Huaahh ini pasti ada luka atau keseleo deh. Sesampainya diatas aku diajak masuk dan disuruh mandi. Aku dipinjami baju, celana bahkan daleman :3 Aku ke kamar mandi bawa semua itu dan jalan perlahan.
Baru masuk kamar mandi dan ngunci pintu, Ola ngetuk-ngetuk. Aku keluar dengan ekspresi ada apa. Ola nyengir dan bilang kalau ada apa-apa teriak aja, jangan sampe aku pingsan didalem kamar mandi. Woaahh baiknya Ola, aku pastiin aja aku bakalan baik-baik didalem. Dan proses mandinya dimulai *heleeeh leboy*
Buka baju aja setengah mati. Susah dan lengket dan kotor dan ribet dan sakit. Eaaa banyak gitu dan-nya. Baru sekali guyur aku liat air basuhannya item kelam. Oh God seremnya. Siraman kedua ada bungkus kopi jatuh dari rambutku. Astaga -.- Basuhan ketiga ada daun-daun sama ranting kecil gitu entah darimananya badan aku deh. Ga sanggup liat lagi, aku fokus untuk bebersih. Rambut kusut banget dan keset karena air bah itu. Yang kelihatan di mata sih dengkul ini luka besot dan tangan juga. Kepala pusing banget. Dan sayangnya aku ga berhasil jakpot. Aku buru-buru menyelesaikan bebersih ini.
Keluar dari kamar mandi aku lihat Elvo dan David yang baru naik tangga memberondong pertanyaan banyak banget. Aku ngerasa kayak artis dikejar wartawan tanpa kamera dan mic :p Aku mau bercerita tapi mulut sama otak belum ngeklik jadi aku cuma nyengir miris liat mereka. Masuk ke ruangan aku disuruh telpon orangtua karena luka ini tentu aja harus diperiksa kan. Hadeeuuuhhh aku lupa kartu asuransi belum dibawa. Terus mau kerumah sakit/klinik bayarnya pake apaan? Aku cuma punya -umm- baju kotor yah. Sisanya hanyut, huwaaahh. Ola nyodorin hapenya supaya aku telpon orang rumah. Karena aku anak baik, yang aku inget cuma nomor mama aja -padahal nomor hape papa angka cantik- jadi aku klik dial supaya cepet tersambung. Kalimat pertama untuk ngasih tau nyokap adalah : "Ma, Ulfah kecelakaan." Cumaaaa ngomong gitu aja aku nangis lagi. Alhasil Ola yang ngomong sama emak kronologinya dan aku diwejangin ini itu sambil disuruh ke klinik dan minta kompensasi. Dosen aku juga telpon. Beliau ga nyangka dan nyuruh aku ke dokter aja biar nanti diganti pihak kampus. Iyah, aku harus lekas ke dokter.
-administrasi itu sulit tanpa tau keadaanku jauh lebih sulit-
Aku bersiap dengan tidak rela tidak ikhlas. Aku berterimakasih sangaaat banyak pada Ester dan Ibunya -aku baru tau nama ibu itu dan anaknya- karena telah menolongku, melihatku dan meminjami baju segala. Tapiiii baju lengan pendek dan celana pendek. Uh oh like a crispy joke. Budeee mana kerudungmu, manaaa huaaahhhh.
Aku masih limbung. Yang aku tahu Ola, Elvo, David dan Agung ada disana saat aku turun dari kosan Ester. Entah ini uang siapa, aku menggenggam 100 ribu dalam tanganku untuk berobat. Aku diantar Agung naik motor karena klinik terdekat hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Aku sampe disana dengan kondisi sulit berjalan.
Aku langsung menghampiri frontliner Klinik AN (AN itu singkatan, dan jangan tanya kepanjangannya apa, ceritanya disamarkan) yang dijaga perempuan hijab. Aku menjelaskan aku habis kecelakaan sehingga ga ada kartu apapun dalam peganganku. Ditambah kartu asuransiku ganti dari IH ke AdM (disamarkan, okeeyy). Mereka bilang kartu asuransi AdM itu kayak kartu kredit jadi diperlukan juga kehadiran kartunya. Huh aku hanya ingin segera ditangani, bayar aja juga ga masalah. Kepala ini rasanya berat. Aku mengiyakan saat mereka menawariku untuk cash lalu aku disuruh menunggu sampai dipanggil giliranku.
Lama.
Iya aku lamaaa sekali menunggu. Aku meminjam hape Agung untuk sms Mama dan Jenong alias Fajar. Khusus untuk Jenong kalau dia ga kuliah kuminta untuk datang. Ternyata mama ngasih nomor Agung ke papa. Aku hanya mendengar kalimat yang sama : "Kok bisa?" . Mama juga tadi pas pertama kali ku telpon bilang kek gitu. Aku mana tahu kenapa, yang ku tahu itu semua sudah terjadi *sigh*.
Aku berkali-kali marahin Agung karena mbaknya ga kunjung manggil aku. Bahkan ada seorang bapak yang luka baru datang langsung masuk. Aku setengah terisak bilang ke Agung : "Gue juga kecelakaan gung, kok ga diduluin. Kepala gue harus luka dulu yah?". Hufft mau bagaimana lagi. Luka yang terlihat dariku hanya lecet kecil tangan dan kaki serta luka cukup besar di dengkul. Hanya saja kepalaku pusing sekali. Agung bilang karena aku menelan banyak air tapi belum jakpot dan teori lainnya yang hanya masuk selintas dalam otakku. Aku ingin segera mengakhiri semua ini lalu tidur. Aku rasa tidur pilihan tepat untuk beristirahat.
Aku ga nyaman. Rasanya seperti tak pakai baju. Hemmm aku memang pakai baju tapi lengan pendek. Aku pakai celana tapi celana pendek.  Aku sudah tak ingat lagi kapan aku memakai baju setelan kek gini untuk keluar rumah. Punya celana pendek kayak gini aja kagak. Aku mau pinjem jas Agung tapi katanya udah lama belom dicuci. Aaaakkkkk.
Setelah lumutan dan tumbuh jamur dikepalaku barulah aku masuk. Agung yang kuminta nemenin juga masuk. Aku bilang ke dokternya ini itu. Dia kaget. Tidak percaya. Dan aku dibawanya keruang pembedahan atau apapun itulah yah. Agung kusuruh tunggu diluar. Ya kali dia mau liat aku "dibedah". Dokternya bilang sesuatu yang menyesak dihati. "Duh tau kamu kecelakaan mah langsung masuk aja. Udah parah gini juga. Haduh liat ini punggung kamu biru semua, memar. Lukanya dibersihin dulu yah." Dalam hati yang paling jujur aku udah membela diri dengan bilang "Gue juga bilang sama orang yang jaga didepan tapi entah ditulikan telinganya atau disangkanya gue nipu kali makanya gue nunggu sampe jamuran!" Huhuhu, miris yah administrasinya. Ohya gimana ni badan kaga lebam, kepentok mobil dan terombang ambing disungai dadakan itu.
Selesai meriksa ini dan itu dan eta dan ieu maka diwejanginlah aku sama berbagai hal. Dari do and don't juga obat-obat yang akan dikasih. Diusahakan jakpot. Yah, iyah, yah well mau berapa lama air kotor ini ku pendem diperut ()
Aku dapat cobaan berikutnya. Uang cashnya ga sebanding sama tagihannya. Untuk sekedar bersihin luka pake alkohol dan diwejangin itu aku habis 150ribu. Untuk di alkoholin luka aja 50 ribu. Tau gitu bersihin sendiri deh, huwaaahhh. Jadi kutangguhkan aja obatnya. Agung sibuk sms minjem uang. Aku tanya Jenong bawa uang apa engga karena aku akan minjem dia. Syukurnya dia bawa tapi dia terjebak macet. Aku sempet menyerah pinjem jas Agung karena ini sungguh risih pakaiannya. Untunglah Fajar datang dan aku pinjem jaket dia. Wajahnya lega meskipun sedih jelas kelihatan dimatanya. Fajar ngusap wajahku pelan tanpa ngomong apa-apa. Aku tahu aku pasti bikin khawatir. Aku selesaikan pembayaran dan nunggu temen sekelas aku datang karena mereka telpon katanya mau ke klinik nyusul.
Entah siapa aja yang nyusul tapi rusuhnya ampuuun dah sampe ditegor satpam. Tadi sih pas telpon, Wiwi yang ngomong sama aku. Katanya Laras sewot gegara aku nekat. Lucunya Una bilang didepan kampus ada yang larut bukannya bilang hanyut. Anak-anak yang denger tadinya ketawa ngakak tapi pas dikabarin bahwa makhluk yang larut itu adalah aku maka tawa itu lenyap. Bahkan dosen killer yang ga ada tolerirnya pun memberi dispensasi untukku dan mengadakan doa bersama. God, terharu banget-banget aku. Aku punya banyak orang yang sayang dan peduli sama aku.
Aku pulang naik mobil Mami. Mami, Aku, Fajar, Ola dan entah siapa lagi aku ga merhatiin bertolak ke kosan. Bahkan sesampainya dikamar aku masih belum tahu siapa aja yang berada disana nemenin aku. Aku diberitahu kalau tas ranselku ketemu. Aku bersyukur. Karena dompet aku pasti selamat, ku taruh dompet itu di dalam dan direstleting. Beda dengan Young. Entah dia masih didalam tas atau merangsek keluar. Sedih rasanya. Tapi sedih itu tenggelam dalam rasa sakit seluruh badan ini.
-Akhirnyaaaa, tapi belum berakhir-
Aku dipaksa makan entah makan apa dan entah saat kapan. Setelahnya aku minum obat dan jakpot. Horeeee! Sepertinya agak enteng badan ini. Aku sakit kepala hebat. Sayangnya malam itu Fajar dan yang lain pulang. Aku mengurusi pilek air wabah itu semaleman. Tissue dimana-mana. Ini bukan pilek biasa pastinya. Aku harus sesegera mungkin berobat. Dan ingatanku campur aduk ga bisa mengurutkan mana yang lebih dulu atau terjadi belakangan.
Aku mendapati Fajar dan Wiwi yang rutin datang. Sementara waktu aku pakai nomor three dengan hape pinjeman. Makasih Arya udah minjemin. Wiwi marah karena orang penjual nasi Padang yang nyimpen tas aku enggan ngasih tas aku. Kabar baiknya hapeku masih ada di tas itu. Heran sih sebenernya. Padahal berpeluang nyeplos dan hanyut itu Young. Ah kau memang setia menemani Young meskipun kita sekarang jauhan :( *oke mulai leboy*
Adik kelasku juga datang, dia di BBM mommy coba buat liatin keadaan aku. Huuufff, muka Fajar seketika itu keruh. Belum lagi dia, dan wiwi dalam waktu yang berbeda sepertinya ribut sama orang nasi padang itu untuk ngambil tas. Yang ku tangkap adalah aku harus kesana ngambil. Oh yeah, if I can lah yah. Bangun dari kasur aja lieng-lieng. Dan adik kelas itu datang lagi setelah aku diminta mommy untuk pijit. Dia diutus untuk memastikan aku udah pijit apa belom, misalkan belum mau dianter, hmmmm -.- Lagi-lagi aku ga enak sama Jenong. Dia udah sabar banget nemenin aku pijit. Padahal lumayan lama dan aku hampir nangis karena sakiiitttt *bersiap terisak*.
-aku punya pacar terbaik dengan kasih sayang paling unik-
Selama aku sakit, Jenong siap jagain dan perhatiin aku. Dia beliin makanan yang aku suka, karena aku nolak makan dengan alasan ga enak dan rasanya pait. Bagaimana mungkin aku nolak makanan yang sehari-harinya aku kagumi. Hahaha lebay banget bude -.- Beberapa kali dia buru-buru abisin makanan untuk suapin aku. Aku juga dikompresin badannya sama dia buat nurunin panas yang terus-terusan naik. Bahkan di setengah ngantuknya pun dia mau ngusap-ngusap aku yang ga bisa tidur nyenyak.
Yang paling aku syukuri dari semua ini dia mencoba tenang. Aku tahu dia khawatir. Itu jelas dari ucapannya yang bilang “Kamu jangan sakit dong Ma, cepet sembuh lagi”. Aku ga enak hati untuk ngomong apa yang saat itu aku rasain. Lemes tak terkira aja pokoknya. Malahan dari aku jatuh, aku terus-terusan pilek dengan warna kelam. Yah, air wabah itu kali yah mengendap dihidung *uh berikan aku udara bersih* Yang pada akhirnya aku mimisan terus. Sekali waktu Jenong tau aku mimisan karena aku anteng duduk ambang pintu kamar mandi. Dia bawain aku tissue dan duduk disamping aku padahal tadinya aku yakin dia tiduran kelelahan abis kuliah ditambah rawat aku juga.
Sekali lagi kata-katanya muncul : “Kamu sehat dong sayang”, saat itu juga aku cuma bisa diem. Dulu pernah dia bilang mending pindahin ke dia aja sakitnya. Hueeeehhh, aku jadi sedih.
-next miss understanding here-
Sepertinya yang ku lakukan berikutnya adalah mengambil kartu asuransi yang dititipkan ke Sammy, temen sepupuku yang juga temen kampus beda prodi denganku. Selesai ambil kartu itu aku diantar Jenong ke klinik AN lagi. Malang nasibku aku harus menceritakan ulang ke dokter kronologinya. Soalnya dokternya beda lagi, dan dokter inilah yang sering memeriksaku selain dokter Nurul. Namanya dokter Yayuk. Aku dianjurkan ke rumah sakit Ad untuk rontgen kepala. Dibuatlah surat pengantar ke RS tersebut.
Apa mau dikata Jenong punya urusan lain dikampusnya jadi aku ke RS itu sendiri dan bawa 50 ribu. Sebenarnya itu sudah sore menjelang senja, dan aku datang sendirian tanpa tau harus kemana. Aku tanya ke satpam harus kemana, eh dia malah tanya balik. “Emang yang sakit siapa?” Dengan reflek aku nunjuk diri sendiri. Biar deh mau ngomong apa itu satpam. Aku ke tempat pendaftaran dengan kisah klasik (maksudnya kronologi kisah hanyutnya) yang harus ku jelaskan.
Aku harus buat kartu rumah sakit dulu berdasarkan ktp atau tanda pengenal. Biasanya aku suka, karena aku senang punya kartu atas namaku, ga peduli walau itu kartu RS atau sekedar kartu anti narkoba. Tapi kali ini aku hanya punya kartu asuransi dan surat pengantar rontgen. Aku merasa tenggorokanku seret seketika pas bapak adminnya nanya, aku masih inget nama dan orangtua aku kan. Memangnya air wabah yang sempet ketelen itu bisa bikin aku amnesia? Aku ngisi biodata dengan kecut. Kapan ini akan berakhir? Lalu miss understanding disinilah yang paling parah. Katanya aku harus dipastiin dulu perlu rontgen apa engga, jadi aku harus ke UGD buat meriksanya. Soalnya ga bisa langsung rontgen tanpa pengantar dokter. Lah itu surat yang aku bawa disangka surat cinta kali yah, huhuhu.
Masih dengan sisa tenaga yang aku punya, aku ke UDGnya. Nyari ruangan sendiri. Nyari dokternya sendiri. Ke kasur untuk tunggu dokter atau susternya juga sendirian. Hikss. Lalu dokter itu datang, siap dengerin kisah klasik dariku. Yang aku bisa pastiin 199% dia ga percaya dan menganggap aku berimajinasi aja. Ditambah kondisiku yang panas tinggi. Dia pasti sangka aku berkhayal saking panasnya tubuhku. Aku hanya diam. Itulah kesalahanku, aku hanya diam. Meskipun terucap juga ke dokter itu aku datang disuruh rontgen padahal. Dokter saranin aku untuk cek darah. Aku iyain aja deh daripada repot. Suster datang, ambil darah, lalu aku disuruh nunggu.
Menunggu adalah hal yang kurang menyenangkan.
Setuju tidak pernyataanku tentang menunggu? Aku harus tergeletak lemah. Mendengar sebelah entah kanan kiri atau depan yang lagi sakit, ada yang kecelakaan dan dapat perhatian intens dari si dokter (bikin aku iri dan ngenes, soalnya aku merasa diabaikan), ada yang stroke, ada yang sakit entah apa tapi dia bisa telponan dengan saudaranya. Suara kerabat atau keluarga yang khawatir dan menemani si sakit itu. Ah ruangan aku berada sepi. Tidak ada satupun orang. Sinyal hapeku drop. Sms ga bisa, nelpon apalagi. Aku mau ditemenin padahal. Minimal sms¬ sedih rasanya sendiri. Mana ga lama aku mimisan. Jadi aku hambat pake tangan, beranjak keluar dan tanya suster dimana kamar mandi. Setelah ditunjukin aku hanya membersihkan diri. Suster itu tanya aku habis apa dan aku bilang mimisan. Dan you know what, mereka lanjut ngerumpi lagi, tanpa ada satupun yang memapahku. Bukannya minta atau kepengen sih. Tapi apa pantas?
Setelah lama menunggu, dokter masuk dan bilang aku tipes. Hah, aku ga salah denger tuh? Oh oke, mungkin kondisiku lemah dan membuatku kena tipes. Tapi peliiissshh deh, aku Cuma mau periksa kepalaku untuk di rontgen. Kayaknya denger dokter ngomong tipes, perlakuannya yang cuek, dan suster yang ngerumpi, aku bertanya apakah otakku masih sehat. Hatiku mungkin perlu juga di rontgen. Aaakkkkkk. Dokter minta aku untuk ke tempat pendaftaran tadi untuk melakukan registrasi rawat inap. Aku makin melongo. Niatnya mau apa, eh disuruhnya apa.
Lagi lagi aku jalan ke tempat bapak yang tadi, sendirian, langkah semakin gontai, lelah dengan semuanya. Bapak itu bersikeras untuk aku di rawat. Aku hanya menggeleng. Untuk apa? Toh kalaupun aku tipes, apa iya aku ga sakit hati setelah semua ini. Dan pertimbanganku selanjutnya, apa mampu aku bayar. Ini aja aku kena selisih entah apa jadi aku bayar 50ribu yang artinya aku ga megang uang satu sen pun lagi. Berikutnya, apa ada yang bakal nemenin. Sakit sendirian itu menyedihkan. Aku ga mungkin ganggu temen dan jenong karena kuliah masih berlangsung dan aku ga mau manja.
Aku memelas minta pulang. Aku akan ambil obat yang harus aku ambil. Aku dikasih surat untuk ijin sekolah 4 hari. Oh god, itu namanya aku libur sampe jumat yang bisa diperjelas lagi bahwa aku ga masuk seminggu. Ah ampuuuun. Jumat itu kan si dosen killer. Aku kan harus masuk, kalau ga ikut kuis mending aku keluar kelas karena percuma ga akan dilulusin beliau. Bapak itu maksa aku istirahat atau piihannya aku dirawat. Dia bilang tipes itu begini begitu. Astagaaaa. Aku udah sakit pake diancem, ditakut-takutin pula. Hih, sedih!
Aku pulang, sebelumnya aku telpon siapapun yang bisa jemput. Uangku habis tak bersisa. Tak peduli mau makan apa untuk minum obat ini, aku hanya mau pulang. Dari banyak orang yang ku telpon, hanya Farrel yang bisa dan bersedia. Thanks God, You save me with him. Aku nunggu Farrel dengan gelisah. Dingin menusuk, habis gerimis disini. Tak lama dia datang dan aku menjawab sekenanya dan seperlunya serta memberinya surat sakitku.
-Simpelnya, dia hanya mau berniat baik-
Aku udah bisa beraktivitas lagi dan kuliah kayak biasanya. Aku memutuskan ke rumah makan padang itu bareng Elvo sama Wiwi. Aku disambut dengan tatatpan yang kurang ramah. Seorang bapak keluar bawa tasku. Lusuh. Kumel. Itulah bentuknya sekarang. Salah satu talinya putus, wajar dia terlepas dari gamblokku saat hanyut. Bapak itu menjelaskan panjang lebar tanpa jeda. “Saya ga minta apa-apa tapi neng ini (nunjuk wiwi) kan yah dateng-dateng nanya tas sama hape. Mana saya tahu di tas itu ada semua itu. Belum lagi ada cowok (si adik kelas itu) datang malam-malam bawa massa minta tas. Saya Cuma mau tau gimana keadaan neng. Ga bermaksud apa-apa. Tapi ditodong kayak gitu siapa juga yang ga kesel.” Aku lihat wiwi raut ekspresinya berubah. Jelas dia emosi saat itu. Aku hanya bisa diam. Mereka perhatian sama aku, bahkan Fajar juga tadinya mau ikut campur. Belum lagi aku juga rewel tentang Young.
Aku periksa semuanya. Masih lengkap. Berbau. Berlumur lumpur tanah dan sampah. Aku memilih membongkarnya setelah keluar dari warung padang ini. Aku dan yang lain memilih duduk depan indomaret. Benar saja, wiwi meluap, dia kesal, dia mau menangis. Aku menenangkannya. Aku mau berterimakasih padanya. Makasih banyak wiw. Untunglah Elvo bisa menenangkannya. Aku mengecek tas setelah situasi mereda. Heelsku hancur, kerendem ga dijemur dan tertutup, aaaahhhh baunya kubenci. Itu bau air wabah. Aku pusing. Young tewas. Aku harus ke SSC ini sih. Dan diompetku, iiuuuh. Aku hanya ambil beberapa kartu dan merelakan foto hancur, mengambil beberapa rupiah yang tersisa. Case hari ini selesai. Dia hanya mau berbuat baik kan?
-Membetulkan Young, gadget yang ku anggap teman setia-
Aku punya satu masalah lagi. Young mati, dia harus ke SSC. Daripada nyusun skenario biar dapet asuransi yang masih dimiliki Young, mending jujur dia abis berenang disungai dan minta dibetulin. Aku ke SSC sama Jenong. Kulihat Young dibongkar, disetrum, dibersihin. Aku diminta tunggu satu jam. Ah mending jalan-jalan dulu sama Jenong. Sekalian pan, mumpung diluar hehe. Kita makan siang sama-sama dan dia kelihatannya seneng aku udah kayak biasanya. Meskipun sekarang aku berubah, memilih ga kuliah kalau hujan deras, dan ga suka sama bunyi air yang mengalir deras serta bau air wabah itu.
Kita balik ke SSC setelah satu jam kemudian. Aku lihat young nyala. Bersih. Tanpa aplikasi. Tanpa SD Card (karena itu satu-satunya yang hilang, mungkin diambil orang padang itu, yakali sd card copot sendiri, apalagi young pake pelindung). Tanpa gallery. Tanpa sms yang di save. Aku merengek kecil ke Fajar dengan muka yang aku yakini engga banget. Dia ketawa liiat aku kayak gitu. Dia usap kepala aku dan bilang “Tenang aja Ma, nanti kita foto-foto lagi. Aku sms lagi yang kamu save-in.” Aku ngesave banyak loh, dari tahun 2011 padahal, hueeehhh. Jenong ajak aku ke bawah (SSC di lantai 3 kalau ga salah), beli SD card. Sedangkan untuk headset aku dipinjaminnya. Sekali lagi, aku bersyukur punya semua ini. Punya pacar yang dan gadget yang sama-sama setia. Buktinya kita sama-sama restart, aku dari pola pikirku yang mungkin suka menyepelekan detik yang berlalu tanpa tahu betapa berharga tiap detiknya. Dan young, dari syoknya berenang dan sekarang bersih lagi.
-Kini, 10 Februari 2013-
Hari ini juga sama. Tampak cerah namun siangnya hujan. Aku lagi beli makan kehujanan. Ngeliat jam tenyata pukul 13.12. Ah sudah setahun yang lalu. Ku lihat beberapa hal ternyata masih sama. Di cihampelas jalanannya jadi sungai. Beberapa tempat di Bandung banjir. Dan semoga ga ada korban jiwa atau korban dadakan seperti aku ʃƪ˘) Semoga hujan hanya membasahi tanah yang kering, tidak membanjirkannya. Menenangkan hati yang gelisah, bukan mengacaukannya. Karena selama yang ku tahu, hujan itu berkah. Hujan itu anugrah. Serta petir yang daritadi menyalak, seseungguhnya sedang bertakbir menyebut nama-Nya. Keep save our earth with a lot of loves and cares.

Ini foto bon RS dan mobil yang ku tempati kolongnya tahun lalu